Next time, ya.

Next time, ya,” kataku pada diri sendiri. 

Sekali lagi, kata-kata itu tersusun kembali dengan pola kalimat yang sama. Kali ini, alasannya baru. Karena aku lebih memilih terlanjur salah ketimbang mengambil langkah untuk memulai kembali.

Entah sudah berapa kali sudah kujadikan pelarian. Sejak ada pikiran untuk menjadi lebih baik, mungkin. Eh, kalimatnya kurang. Sejak ada pikiran untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Ya, sebuah motivasi yang tidak benar baik, memang.

Melihat orang lain mencapai sesuatu, membuatku pun juga ingin mendapatkannya, bahkan lebih. Untung saja hal itu aku terapkan di pencapaian-pencapaian baik. Seperti prestasi nilai sempurna di bidang bahasa atau jadi peringkat 1 secara umum di angkatan.

Dulu sekali, saat SD lebih tepatnya, aku jadi siswa penyendiri. Makanya untuk mendapat perhatian teman dan orang lain, aku harus menjadi mencolok. Ya, jadi siswa pintar itu jalannya. Berlanjut saat SMP. Namun, itu berakhir ketika tiba-tiba ada insiden libur 2 minggu yang bertambah-tambah sampai 2 tahun itu.

Saat masa pandemi, aku jadi malas-malasan belajar. Malas juga mengerjakan tugas. Karena toh untuk apa lagi aku cari perhatian? Makanya, pascapandemi, dengan mudah kulihat teman-temanku berangsur banyak menyalipku di peringkat angkatan. Sejak itu, aku melihat teman-temanku ini juga sebagai sainganku dalam meraih mimpiku. Yah, meski mimpiku itu pun belum jelas apa. Saat itu, yang kupikir tentang hidup menjadi hanya menang-kalah, berhasil-gagal. Karena merasa aku akan tersingkir dan menuju kalah itu, aku berusaha menjadi pemenang.

Berhasil. Aku berhasil masuk ke salah satu SMA peringkat 200-an nasional. Beda dengan temanku yang kebanyakan ke SMA peringkat 700an. Merasa sudah menang, aku akhirnya tidak lagi mencoba mencari prestasi lagi. Malah, keterusan menjadi malas kembali. Banyak menunda-nunda. Dan hal-hal buruk lainnya. Akhirnya, saat ada hal yang mengharuskan aku memiliki prestasi, aku tidak punya. Jadi, aku malah kewalahan sendiri di situ.

Pernah ada di posisi guru suatu pelajaran menyadari kemampuanku. Akhirnya dipercayakan untuk mewakili sekolah di sebuah lomba dari Kementerian Pendidikan. Semangat dong. Akan kuhadapi dan kuberikan yang terbaik. Tapi, kau tahu apa, batas waktunya telah terlewat. Ia salah baca tanggal. Sekolah telat menginfokan. Ya sudah, next time, ya.

Itu yang kubilang pada diriku sendiri tahun lalu. Kau tahu apa, aku gagal lagi tahun ini. Kali ini, karena aku menolaknya. Alasannya pun bisa kubilang, cukup mengada-ada. Salahku. Sekolah akhirnya memilih orang lain untuk mewakili di bidang yang saat ini paling kuusahakan itu. Iya, kecewa. Sedih. Dan marah. Pada diri sendiri, tentunya. Tapi, lalu apa?

Sempat terpikir untuk mencoba bidang lain. Kubuat strategi dan kata-kata untuk negosiasi. Juga, kubuat naskah alternatif yang akan kulombakan itu. Tapi, dari guru, katanya sudah dikumpulkan. Tahun ini terlambat lagi, ya. Untuk kesekian kalinya lagi, next time, ya. Harusnya begitu seperti biasanya. Tapi, tidak. Kata ayahku, tahun depan, saat aku kelas 12, aku tidak bisa mengikuti hal semacam ini lagi. Tidak ada lagi next time.

Depresi banyak beberapa hari ini. Tapi, aku sadar, tidak bisa berlama-lama dalam keterpurukan. Semoga, eh, tidak. Harus. This time, aku harus mulai bertindak. Jangan lagi ada next time, ya, aku!

Komentar

Postingan Populer