Tugas Cerpen // Suatu Malam yang Dingin
Suatu malam yang dingin, rintik hujan jatuh perlahan basahi bumi. Bintik-bintik embun selimuti kaca jendela kamar. Di bawah cahaya lampu jalan yang jatuh ke dalam rumah, Dimas bengong-bengong sendiri. Ia mengedar pandang keluar jendela. Sekali ia menatap embun-embun yang menumpuk itu menjadi tetes air.
Malam itu begitu sepi, kebanyakan orang di kampung sudah tertidur jam segini. Seluruh angggota keluarga Dimas masih menetap di Anyar, tempat tinggal neneknya. Niatnya mereka hanya ingin merayakan tahun baru di sana, tapi tidak bisa pulang karena pandemi. Dan di sinilah Dimas, sendirian di rumah, mengerjakan tugas cerpennya yang masih hanya satu kalimat, “Suatu pagi yang cerah,”
Sudah dua gelas kosong di mejanya. Keduanya berisi ampas kopi saset yang sudah lama ia habiskan. Buku-buku tertumpuk acak di samping laptopnya. Sedang di kasur, seorang Dimas yang masih tak tahu apa yang harus ia tulis.
Ponsel Dimas berdering, ada panggilan telepon masuk. Itu dari Fajar, teman sekolahnya dulu.
“Lagi ngapain?”
“Nugas, nih.”
“Aku ke rumah, ya.”
“Weh, pandemi, Bang.”
“Santai, aku di rumah terus, kok.”
“Ywdah.”
“OTW.”
“Lagi ngapain?”
“Nugas, nih.”
“Aku ke rumah, ya.”
“Weh, pandemi, Bang.”
“Santai, aku di rumah terus, kok.”
“Ywdah.”
“OTW.”
Ponsel itu ditaruhnya kembali, sedang ia ambil sebuah buku dan membuka halaman demi halaman untuk menemukan ide cerita. Ia mengingat kembali masa tenggat tugasnya sembari memikirkan apa yang harus ditulisnya. Kepalanya menunduk, kelopak matanya terasa semakin berat, dan..
“Hah!” Dimas terbangun dari tidur singkatnya. Hujan di luar masih belum berhenti, air seakan ingin mengguyur seluruh permukaan bumi dan membuat tanaman segar kembali karena sudah sekian bulan tidak turun hujan. Bahkan dari luar terdengar suara gemuruh.
Hawa dingin kembali menyelimuti tubuhnya. Dimas meraih gelas, barulah ingat ia gelasnya sudah kosong. Diletakkannya kembali gelas kosong itu dan mengetik tugasnya kembali, kali ini ia sudah punya ide cerita. Dimas menghapus kalimat yang ia tulis lalu menggantinya, “Suatu malam yang dingin,”
Dimas perlahan bangun dari kursinya. Dengan lesu, ia berjalan pergi ke dapur. Kopi saset di rak sudah ia habiskan malam ini. Kali ini Dimas hanya mengisi air hangat ke gelasnya. Setetes air dingin jatuh di atas kepalanya. Dimas lalu mengambil ember dan menaruhnya tepat di bawah tempat menetesnya air.
Saat akan kembali ke kamar, Dimas samar-samar mendengar langkah kaki yang mendekat ke rumahnya. Sesosok bayangan tergambar di jendela ruang tamu. Dimas berjalan melewati kamar, menuju ruang tamu, dan langsung ia buka pintu.
Dan tentu saja, itu Fajar. Dimas lalu menyuruhnya masuk dan menutup pintu.
Sudah hampir tiga tahun mereka tidak pernah bertemu. Selama itu, masing-masing mereka sudah banyak berubah. Kata Fajar di chat, dia sudah mulai jarang motoran dan lebih sering di rumah. Dan juga katanya, ia sudah merubah warna dan gaya rambutnya.
Mereka masuk ke dalam kamar. Dimas duduk di kursi dan Fajar duduk di kasur.
“Aku lagi nulis cerpen, nih.” kata Dimas menunjuk ke laptop.
“Buat lomba?”
“Tugas sekolah,” jawab Dimas sambil meneguk air hangat di gelas yang dibawanya.
“Masih suka nulis, to?” tanya Fajar lagi.
“Bukan, tapi ya mau bagimana lagi?” Dimas kembali menghadap ke laptop.
“Masih suka nulis, to?” tanya Fajar lagi.
“Bukan, tapi ya mau bagimana lagi?” Dimas kembali menghadap ke laptop.
Ia meregangkan badannya dan sedikit mendesah kedinginan sebelum kemudian kembali mengetik. Dari bising suara ketikan keyboard, samar-samar terdengar suara halaman buku yang dibolak-balik oleh Fajar.
“Mau minum, gak?” Dimas baru ingat menawarkan minum. “Nanti ambil sendiri di dapur, ya.” kata Dimas sambil tetap menghadap ke laptopnya. Fajar keluar kamar lalu menutup kembali pintunya. Dimas yang tiba-tiba mendapat ide menulis, sama sekali tak bergeming. Ia begitu asyik mengetik. Idenya begitu deras mengalir bak air banjir menerjang bangunan-bangunan kokoh di perkotaan kumuh yang penghuninya sembarangan buang sampah. Derasnya suara hujan perlahan mulai tidak terdengar. Suara tombol-tombol yang ia tekan bak irama lagu Korea kesukaannya. Jari-jarinya menari dengan lincah mengikuti alur pikirannya.
Sampai di akhir paragraf, Dimas tiba-tiba berhenti menulis. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan menghela nafas. Ia meminum air dari gelas yang hanya menyisakan seteguk lagi.
Ponsel Dimas berdering, ada panggilan telepon masuk. Itu dari Fajar, “Sorry, Bro. Kayaknya aku gak jadi datang. Ban motorku tertusuk paku. Sekarang lagi nyari tambal ban. By the way, kamu tahu tempat tam—” Tangan Dimas tak mampu menahan bobot ponselnya lagi. Dimas meneguk ludahnya sendiri. Tatapannya kosong.
Suara hujan perlahan mulai terdengar. Kali ini hawa dinginnya lebih dingin dari sebelumnya. Pengelihatan matanya mulai menghitam, lalu suara hujan kembali meredam.
“Hah!” Dimas terbangun dari tidur singkatnya. Hujan di luar masih belum berhenti, air seakan ingin mengguyur seluruh permukaan bumi dan membuat tanaman segar kembali karena sudah sekian bulan tidak turun hujan. Bahkan dari luar terdengar suara gemuruh.
Hawa dingin kembali menyelimuti tubuhnya. Dimas meraih gelas, barulah ingat ia gelasnya sudah kosong. Diletakkannya kembali gelas kosong itu dan mengetik tugasnya kembali, kali ini ia sudah punya ide cerita. Dimas menghapus kalimat yang ia tulis lalu menggantinya, “Suatu malam yang dingin,”
Komentar
Posting Komentar